Pemilu

Oleh Fahd Pahdepie

Meutiaranews.coPilpres 2024 belum dimulai, kandidat-kandidat yang akan bertarung belum resmi ditetapkan, tetapi kampanye subliminal sudah berlangsung secara ketat memperebutkan pikiran bawah sadar pemilih Indonesia. Kampanye model ini tidak diatur dalam Undang-undang pemilu, juga tidak dalam peraturan KPU, tetapi sebenarnya paling menentukan siapa presiden dan wakil presiden Indonesia mendatang.

Secara saintifik, pikiran sadar hanya menggunakan 7% kapasitas otak manusia. Sementara pikiran bawah sadar menguasai 93%-nya. Perilaku, tindakan, keputusan, sebenarnya banyak ditentukan oleh pikiran bawah sadar, bukan oleh pikiran sadar. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, gerak-gerik kita lebih banyak ditentukan oleh pemrograman bawah sadar yang terpasang sedemikian rupa di pikiran kita, bukan oleh kalkulasi-kalkulasi logis yang rumit dan kompleks.

Inilah gagasan utama dari pesan bawah sadar atau ‘subliminal message’ yang ditempatkan dalam berbagai teknik marketing dan kampanye. Pesan-pesan itu dirancang sedemikian rupa dalam bentuk gambar, bunyi, gerak, bau, rasa. Para ahli menyebutnya VAKOG, singkatan dari visual, auditory, kinesthetic, olfactory, dan gustatory.

Jika Anda familiar dengan bentuk atau warna tertentu dari brand-brand ternama dunia, bahkan tanpa berpikir, itu artinya kampanye subliminal mereka berhasil menginstall pemrograman tertentu secara visual. Ingat logo McD atau Nike? Sekuat itu pemrograman visual memberikan pesan kepada pikiran kita tentang citra produk tertentu. Jika Anda ingat bunyi penjual es krim dari merek tertentu, bau roti atau donat di stasiun kereta atau mal, rasa unik dari ayam goreng KFC, itu semua adalah bentuk-bentuk pemrograman alam bawah sadar untuk mengubah dan mempengaruhi perilaku kita–untuk pada akhirnya mendorong kita agar ingat, suka, beli.

Kampanye Politik

Seiring berjalannya waktu pendekatan-pendekatan ini dipakai juga dalam kampanye politik. ‘Subliminal campaign’ atau kampanye pikiran bawah sadar terbukti efektif dan sangat berpengaruh dalam banyak pemilu–termasuk di Indonesia. Jingle lagu iklan mie instan sukses ikut memenangkan SBY di pemilu 2004, kampanye ‘moncong putih’ milik PDIP bukan hanya kuat secara gambar tetapi juga bunyi, dan yang paling populer adalah baju kotak-kotak Jokowi sejak Pilgub DKI 2012 hingga Pilpres 2014.

Kampanye kotak-kotak Jokowi adalah salah satu contoh ‘subliminal campaign’ terbaik yang pernah dilakukan. Ia bukan sekadar motif baju kotak-kotak, tetapi lebih dari itu. Yang di-install adalah ‘visual’ dan ‘auditory’, mengasosiasikan ‘kotak-kotak’ dengan sosok Jokowi-Ahok pada saat Pilgub DKI 2012 dan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Artinya, semua yang ‘kotak-kotak’ adalah mereka. Jika lihat kotak-kota artinya Jokowi, jika dengar kotak-kotak artinya juga Jokowi.

Bayangkan di masa tenang, atau saat menuju TPS, saat aturan KPU melarang tanda gambar dan nomor urut, ‘kotak-kotak’ bisa tetap menjadi kampanye yang efektif. Saat warga menuju TPS, mereka dibagi nasi kotak, atau teh kotak, atau kotak snack. Jika kata ‘kotak’ ini diaktivasi, pikiran masyarakat akan tertuju kepada Jokowi–dan bukan yang lainnya. Di TPS, tentu saja, kata ‘kotak suara’ saja mengarah kepada citra Jokowi, bukan? Inilah sebabnya, semua kampanye berikutnya yang menjiplak ‘baju kotak-kotak’ Jokowi kurang efektif, karena ini bukan tentang motif baju belaka. Ini tentang aktivasi kampanye subliminal.

Dan memang, Jokowi adalah ahli ‘sanepa’, simbol, atau ‘subliminal message’. Saya bongkar sekarang karena beliau tidak lagi mengkampanyekan dirinya untuk kontestasi pemilu. Ada banyak pikiran pemrograman seperti ini dalam berbagai kampanye yang dilakukan Presiden Jokowi. Yang terakhir adalah ‘baju putih’ di Pilpres 2019. Simbol ‘memakai baju putih’ ke TPS adalah aktivasi kampanye subliminal yang sangat kuat pada saat itu, terbukti memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Pilpres 2024

Ganjar Pranowo dan timnya sepertinya memahami betul konsep kampanye subliminal ini. Saat mereka memperkenalkan baju garis-garis hitam putih, semua orang fokus pada motif bajunya, bahkan dikritik mirip baju tahanan atau seragam di kamp konsentrasi Nazi. Saya, sih, senyum saja. Seandainya kita mengerti kampanye subliminal, apa yang dilakukan tim Ganjar ini bukanlah sibuk memikirkan ‘kelir’ baju, tetapi merancang aktivasi tertentu untuk sebuah pesan subliminal menuju hari pencoblosan.

Tentu ada banyak cara untuk membacanya. Tetapi bagi saya yang paling penting dari baju Ganjar Pranowo adalah warnanya: hitam di atas putih. Coba bayangkan warga berbondong-bondong berangkat ke TPS, lalu sepanjang jalan melihat kertas-kertas difotokopi hitam-putih dengan panah sederhana dan tulisan ‘Ke TPS’, atau tulisan ‘TPS 04’, atau lainnya, yang diingat pasti warna hitam di atas warna putih yang simpel itu. Saat melihat kertas HVS putih dicetak di atasnya tulisan dengan font tegas berwarna hitam, pikiran orang sedang digiring ke satu nama: Ganjar Pranowo. Cerdas, bukan?

Pesan subliminal lain yang coba diinstall dalam kampanye 2024 kali ini adalah ‘bunyi’ saat mengucapkan kata ‘amin’ dalam doa. Bayangkan dalam pertemuan-pertemuan besar atau kecil, dalam percakapan warung kopi atau obrolan media sosial, orang diberi doa-doa dan kalimat-kalimat baik, apa yang akan diucapkan orang yang mendengarnya? ‘Amin’, bukan? Sesederhana ‘caption’ di instagram, ‘amin’-kan doa baik ini, tuliskan di kolom komentar.

Kata ‘amin’ ini generik, semua orang tahu, mudah, dan kuat. Tak mengherankan kata ini yang dipilih tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar untuk membuat akronim pasangan itu. Nantinya, pasangan lawan mereka, atau partai yang tidak mendukung mereka, saat berdoa di acara-acara besar, harus berpikir mengganti kata ‘amin’ menjadi yang lain. Ini benar-benar sudah terjadi. Apalagi aturan KPU dan Undang-undang pemilu tak bisa mencegah orang menjawab ‘amin’ saat didoakan di TPS nanti.

Yang belum terlihat menggunakan teknik ‘subliminal campaign’ adalah capres Prabowo Subianto. Dari satu pilpres ke pilpres lain, Prabowo selalu bermain di korteks dan neokorteks, di wilayah pikiran sadar. Pesan-pesan dan simbolnya sering terlalu ‘terang benderang’, canggih dan kompleks. Misalnya garuda merah, gestur hormat, atau lainnya. Kurang ‘subliminal’. Termasuk kali ini, pemrograman pikiran bawah sadar apa yang sedang dirancang? Bagaimana melawan kampanye subliminal hitam-putihnya Ganjar atau Amin-nya Anies? Ini tantangan tersendiri untuk tim Prabowo Subianto, yang konon menerapkan strategi berbeda dalam pilpres kali ini. Layak untuk kita nantikan.

Menjelang Pilpres 2024, setiap hari saya melihat kampanye-kampanye subliminal dilakukan oleh para kandidat. Kadang sangat halus, tetapi sangat kuat dampaknya. Kampanye pikiran bawah sadar itu bisa tulisan di kaos yang dikenakan capres, posting di instagram, cerita-cerita di grup WA, atau lainnya. Memang kampanye jenis ini yang paling menentukan siapa pemenang Pilpres 2024 mendatang. Kampanye yang bahkan KPU tak bisa mengaturnya, Bawaslu tak bisa mencegahnya, publik tak bisa menolak untuk ‘tahu, suka, dan coblos’.

FAHD PAHDEPIE – Penulis, Certified American Board NLP Practitioner, Strategic Communication Specialist

#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

By Dika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *