Pameran foto Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta (Istimewa)

Meutiaranews.co – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merayakan ulang tahun ke-30 dengan mengangkat tema ‘Membangun Resiliensi di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme’ dalam sebuah acara di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, pada Jumat (9/8/2024).

Ketua AJI, Nani Afrida menekankan pentingnya resiliensi bagi AJI dalam menghadapi dua tantangan besar, disrupsi media dan menguatnya otoritarianisme.

“Resiliensi ini berarti kemampuan untuk beradaptasi dalam menghadapi tantangan-tantangan besar,” kata Nani dalam pidato sambutannya.

Lebih lanjut, Nani menjelaskan bahwa dalam konteks otoritarianisme, kekerasan terhadap jurnalis, baik secara fisik, digital, maupun seksual, terus meningkat. Sayangnya, banyak kasus tersebut berakhir dengan impunitas.

“Pada tahun ini saja, terdapat 40 kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis, baik kekerasan seksual, digital, maupun fisik,” tegasnya.

Sementara itu, Bayu, salah satu panitia acara menambahkan bahwa malam resepsi AJI Indonesia kali ini memiliki keistimewaan tersendiri dengan adanya pameran foto di lokasi kegiatan, Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.

Pameran tersebut menampilkan karya foto yang mengangkat isu-isu dari tiga daerah: Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Jawa Barat, yang mengungkap penderitaan warga akibat proyek ambisius pemerintahan Joko Widodo, yakni Proyek Strategis Nasional (PSN).

Pameran ini menampilkan 30 karya foto dari berbagai wilayah, termasuk lima karya dari jurnalis AJI Samarinda yang berhasil menangkap realitas keras di lapangan.

Salah satu karya yang dipamerkan adalah milik Kartika Anwar berjudul ‘Proyek IKN Dikebut, Warga Pemaluan Krisis Air Bersih’, yang menggambarkan kesulitan akses air bersih bagi warga yang tinggal di sekitar proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru.

Pameran foto jurnalistik dari Maluku Utara menampilkan karya Mahmud Ici tentang kuburan warga Gemaaf di Halmahera Tengah yang terpaksa dibuat di pekarangan rumah akibat perampasan lahan oleh perusahaan tambang, sehingga tidak ada lagi lahan untuk pemakaman umum.

Ada juga karya Rian Hidayat Husni yang mengangkat isu banjir di Halmahera Tengah akibat aktivitas perusahaan tambang. Selain itu, karya Fadli Kayoa di Obi, Halmahera Selatan, menyoroti pembongkaran hutan oleh perusahaan tambang.

Di Kalimantan Timur, dua karya Fitri Wahyuningsih, ‘IKN Dikebut Debu Bikin Semaput’ dan ‘Hancurnya Sungai Pemaluan Akibat Pembangunan IKN’, menggambarkan dampak ekologis yang merusak lingkungan sekitar.

Karya lainnya dari Lutfi Rahmatunnisa, ‘IKN Gilas Tanaman Herbal Suku Balik’ dan ‘Trobos Tanah Warga demi Ambisius Bandara VVIP IKN’, menunjukkan bagaimana proyek ambisius pemerintah ini meminggirkan masyarakat lokal dan mengabaikan hak-hak mereka.

Di Jawa Barat, karya Virliya Putricantika menyoroti proyek kereta cepat di Tegalluar dan Panel Surya di Waduk Cirata. Sementara itu, Anza Suseno mengangkat isu PLTU di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, dan Abdullah Fikri Ashri mengangkat perjuangan petani perempuan di Indramayu yang memperjuangkan energi bersih akibat beroperasinya PLTU di daerah tersebut.

“Foto-foto ini berbeda dengan yang biasa dilihat di media pada umumnya, yang seringkali hanya menyoroti dampak positif PSN. Foto-foto ini justru memperlihatkan sisi lain dari masyarakat yang mengalami ketidakadilan. Masyarakat yang tidak punya kuasa, mengalami penggusuran, polusi debu, bahkan kehilangan lahan untuk pemakaman. Foto-foto ini menangkap kondisi yang seringkali luput dari perhatian,” jelas Bayu.

***

#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *