MeutiaraNews.co – Eksekusi sebuah rumah di Perumahan Rosedale Blok E2 Nomor 3, Teluk Tering, Batam Kota, Kamis (20/11), berlangsung tegang setelah pihak ahli waris menolak pengosongan dan menilai proses eksekusi menyalahi aturan. Mereka menyatakan kepemilikan rumah tersebut sah berdasarkan dokumen lengkap yang dimiliki sejak 1994. Penolakan ini memicu aksi dorong-dorongan sebelum akhirnya polisi dari Polresta Barelang dan Polsek Batam Kota meredam situasi.
Ahli waris Johnson Napitupulu, melalui Gebhard P. Napitupulu, menyatakan bahwa tindakan eksekusi ini prematur dan cacat administrasi. Ia menegaskan bahwa keluarga merupakan pemilik sah berdasarkan Akta Jual Beli (AJB), dokumen UWTO yang masih aktif hingga 2040, serta izin peralihan hak (IPH) dari BP Batam.
“Semua dokumen kami lengkap dan sah. UWTO masih berlaku sampai 2040. Justru pihak yang mengeksekusi tidak punya dokumen PL maupun UWTO,” tegas Gebhard.
Ia menyebut kejanggalan lain adalah dasar eksekusi yang menggunakan SHGB milik pihak pemohon, yang menurutnya telah kedaluwarsa sejak 2020. Berdasarkan aturan ATR/BPN, perpanjangan minimal harus dilakukan dua tahun sebelum masa berlaku berakhir. “Mereka tidak bisa memperpanjang karena tidak memiliki rekomendasi dari BP Batam. Bagaimana mungkin SHGB seperti itu dijadikan dasar eksekusi?” ujarnya.
Ahli waris juga menilai klaim bahwa rumah tersebut merupakan bagian dari bundel pailit PT Igata tidak berdasar. Mereka mengaku memiliki bukti bahwa Blok E2 Nomor 3 tidak pernah masuk dalam daftar aset pailit perusahaan tersebut.
“Kami sudah verifikasi langsung. Bundel pailit PT Igata tidak mencantumkan rumah kami. Ini sangat aneh,” kata Gebhard. Keluarga juga menyebut tidak pernah mengenal pihak yang mengajukan eksekusi maupun pihak-pihak yang disebut membeli rumah itu dari kurator.
Ketidakjelasan historis kepemilikan yang diklaim pemohon eksekusi menambah kecurigaan ahli waris akan adanya dugaan permainan oknum. Gebhard menilai keluarga menjadi korban praktik mafia tanah yang memanfaatkan celah administrasi lama.
“Rumah ini tidak pernah kami jual kepada siapapun. Tiba-tiba ada pihak yang mengaku membeli dari kurator. Kami juga tidak pernah dilibatkan atau diberi tahu tentang perkara awalnya,” ujarnya.
Meski demikian, tim Pengadilan Negeri Batam tetap hadir dan melakukan pembacaan surat eksekusi berdasarkan Penetapan Nomor 38/PDT.EKS/2025/PN Btm atas permohonan Mulyadi Grandi. Penetapan tersebut merujuk pada putusan PN Batam, Pengadilan Tinggi Kepri, dan Mahkamah Agung yang memerintahkan ahli waris mengosongkan rumah tersebut. Petugas datang dengan pengawalan aparat dan membawa peralatan pendukung.
Kuasa hukum pemohon eksekusi, Agus Cik, menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi adalah bentuk kepastian hukum bagi pemenang lelang. Ia menegaskan bahwa aset tersebut masuk bundel pailit PT Igata dan telah melalui proses lelang resmi.
“Setiap pemenang lelang wajib dilindungi undang-undang. Apapun yang terjadi, eksekusi harus dilaksanakan. Inilah jaminan hukum,” kata Agus.
Namun ahli waris membantah keras pernyataan tersebut dan menilai dasar-dasar hukum yang digunakan pemohon perlu diuji ulang. Mereka juga sudah mengajukan gugatan baru terkait keabsahan dokumen pemohon, dan prosesnya kini memasuki sidang ketiga.
“Kami mengejar kepastian hukum. Ada banyak hal yang tidak sinkron dalam berkas-berkas mereka, dan itu sedang kami buktikan di pengadilan,” kata Gebhard.
Ketegangan sempat meningkat ketika sejumlah petugas mulai mengarahkan derek ke kendaraan milik keluarga. Ahli waris berdiri menghadang sambil menyerukan keberatan atas proses yang mereka anggap tidak transparan. Polisi kemudian menenangkan situasi dan memastikan tidak ada kekerasan selama eksekusi berlangsung. Setelah pembacaan penetapan selesai, pihak ahli waris tetap bertahan dan menolak meninggalkan rumah.
Sengketa rumah Rosedale ini kembali menyoroti persoalan tumpang tindih lahan dan sertifikat ganda yang masih marak di Batam. Kasus tersebut juga memperlihatkan bagaimana perbedaan tafsir antara dokumen UWTO dan sertifikat hak atas tanah dapat memicu konflik berkepanjangan. Ahli waris berharap proses hukum yang sedang berlangsung dapat membuka fakta sebenarnya.
“Kami hanya ingin hak kami diakui dan diputuskan secara adil,” ujar Gebhard. (es)
#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

