Masyarakat Rempang memasang spanduk tolak relokasi (Meutiaranews)

Meutiaranews.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau telah merilis hasil kajian mereka mengenai kasus agraria di Pulau Rempang, Batam.

Kajian yang dipaparkan pada, Senin (8/7) ini diberi judul “Kronik PSN Rempang Eco-City: Kontroversi Investasi Tiongkok dan Resistensi Masyarakat Rempang”.

Dalam kajian tersebut, Walhi menyoroti perjuangan masyarakat Rempang dalam mempertahankan ruang hidup mereka dari ancaman penggusuran akibat proyek Rempang Eco-City yang melibatkan investasi dari Tiongkok.

Menurut kajian ini, masyarakat Rempang terus berjuang mempertahankan kampung-kampung mereka yang telah menjadi warisan leluhur sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai sebuah negara.

“Mempertahankan kampung merupakan bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur mereka,” kata Eksekutif Daerah Walhi Riau, Even Sembiring.

Kajian Walhi juga mengungkapkan intimidasi yang dialami masyarakat Rempang pasca komitmen investasi antara Indonesia dengan Xinyi dari Tiongkok.

Sebanyak 1.010 personel gabungan memaksa masuk ke Pulau Rempang, yang berujung pada bentrokan dan menimbulkan korban, termasuk anak-anak dan perempuan.

Walhi menekankan bahwa tindakan represif ini menambah tekanan terhadap masyarakat yang sudah berjuang mempertahankan ruang hidup mereka.

Selain itu, warga Rempang juga dihadapkan pada paparan data yang membingungkan dari Badan Pengusahaan (BP) Batam, terutama terkait jumlah warga yang setuju untuk digusur. Data tersebut dipertanyakan akurasinya oleh masyarakat dan Ombudsman RI.

“Kami mendesak BP Batam untuk membuka data detail mengenai warga yang setuju untuk digusur guna memastikan keadilan bagi warga yang terdampak,” ujarnya.

Dalam kajiannya, Walhi Riau memberikan empat rekomendasi utama untuk Presiden Joko Widodo, Komnas HAM, dan Ombudsman RI. Pertama, mereka meminta Presiden Joko Widodo untuk memenuhi janji politiknya saat kampanye pada 6 April 2019 di Batam, yaitu melakukan sertifikasi kampung tua di Kota Batam, termasuk Pulau Rempang.

Kedua, mereka mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan dan instrumen kebijakan yang menjadi akar masalah konflik agraria dan sumber daya alam akibat proyek PSN Rempang Eco-City.

“Hal ini termasuk akselerasi legalisasi dan penataan kembali penguasaan tanah yang adil di Pulau Rempang, serta perlindungan ekosistem laut dan wilayah tangkap nelayan tradisional,” lanjutnya.

Ketiga, evaluasi dan pengkajian ulang kelembagaan Badan Pengusahaan Batam yang dianggap mengakibatkan eskalasi konflik agraria dan sumber daya alam di Batam dan Kepulauan Riau.

Keempat, mereka meminta Komnas HAM untuk menindaklanjuti temuan dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa 7 dan 11 September 2023, serta memastikan Polri tidak lagi melakukan intimidasi atau kekerasan berlebih dalam upaya masyarakat mempertahankan hak mereka.

“Kami mendapati bagaimana suara perempuan Rempang menolak Rempang Eco-City, khawatir pembangunan pabrik kaca akan merusak laut yang menjadi ruang hidup mereka sejak dulu,” tutupnya.

#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *