Aktivitas masyarakat Suku Laut Pulau Caros, Galang, Kota Batam (Meutiaranews)

Meutiaranews.co – Presiden Joko Widodo telah menetapkan Pulau Tanjung Sauh di Batam, Kepulauan Riau (Kepri), sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru pada, 19 Juni 2024. Proyek ini juga telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada tahun 2020 lalu.

Proyek ini diproyeksikan akan menarik investasi sebesar Rp190 triliun dalam 10 hingga 20 tahun mendatang. Panbil Group ditunjuk sebagai pengembang proyek ini.

Namun, proyek KEK ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Suku Laut yang tinggal di sekitar Tanjung Sauh. Menurut informasi, mereka akan direlokasi ke Pulau Ngenang.

Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA), Nukila Evanty mengatakan, relokasi Suku Laut di Batam Provinsi Kepri dapat berpotensi memutus peradaban dan sejarah mereka.

“Suku Laut telah ada sejak tahun 1515, seperti yang tercatat oleh Tome Pires, seorang administrator Portugis yang saat itu tinggal di Malaka (negara bagian di Malaysia),” kata Nukila, Selasa (9/7/2024).

Ia mengungkapkan, Suku Laut telah menetap di perairan Batam sejak tahun 1919, hidup damai, rukun antar suku, dan bebas menjelajah laut pada masa itu.

“Dahulu Suku laut mengembara dengan rumah sampannya (kajang), pindah dari satu perairan ke perairan lainnya di pulau Batam, biasa hidup dalam kelompok-kelompok di laut karena ikan makin sedikit karena industri ekstraktif yang muncul, akhirnya mereka sering berpindah,” lanjutnya.

Lanjut Nukila, sekitar tahun 1990, Suku Laut di Kota Batam diminta atau dipaksa pemerintah untuk untuk berdiam di pulau -pulau seperti Air Mas (Tanjung Sauh) dan di Batam oleh pemerintah setempat. Para pengelana laut ini dipaksa didaratkan.

“Saat itu alasan pemindahan dilakukan agar anak-anak mereka (Suku Laut) dapat bersekolah, dan dengan alasan agar kehidupan mereka tidak terbelakang,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil pernyataan beberapa kepala Suku Laut di wilayah Provinsi Kepri kepada Nukila, Pemerintah setempat membangunkan rumah-rumah bantuan untuk Suku Laut tanpa memberikan sertifikat tanah.

Bahkan semua proses-proses mendaratkan Suku laut tersebut dianggap sebagai obyek kegiatan kemanusiaan, bantuan-bantuan berupa kompensasi yang tidak berkelanjutan.

“Seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana mereka bisa bertahan hidup ketika perahu-perahu mereka telah lapuk, ketika mereka menjadi asing pada permukiman di darat. Selain itu, ketika nilai-nilai kebanggaan mereka akan laut menjadi hilang karena tidak ada yang memperdulikan bahasa suku laut, tradisi nenek moyang suku laut, cara-cara menangkap ikan mereka yang sangat bersahabat dengan alam. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah,” tegasnya.

Menurut Nukila, relokasi ke darat akan memutus ikatan mereka dengan habitat asli, dan merusak identitas Suku Laut sebagai masyarakat yang hidup menyatu dengan laut.

“Suku Laut memiliki pengetahuan mendalam tentang perikanan dan kelautan. Hal ini yang akan hilang jika mereka terus dipaksa untuk relokasi atau didaratkan,” ungkap Nukila.

Proyek pembangunan seperti PSN di Tanjung Sauh menambah kekhawatiran mereka akan pengusiran dan marginalisasi, mengingat banyak dari mereka tidak bisa baca tulis sehingga sulit memahami kontrak atau maksud dari proyek tersebut.

“Kami meminta pemerintah dan pelaku bisnis untuk mempertimbangkan kembali model relokasi yang ditawarkan. Pemerintah dan bisnis harus belajar dari model free, prior, and informed consent agar tidak melanggar hak-hak Suku Laut yang telah ada sejak sebelum program pembangunan pemerintah dan undang-undang diterapkan,” tutupnya.

#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *