Pidana

Oleh: Dr Alwan Hadiyanto SH MH
KA Prodi Magister Hukum Unrika, Dosen, Konsultan Hukum, Lawyer, Saksi Ahli Pidana Batam-Kepri, Mediator

Meutiaranews.co – Tidak bisa memenuhi perjanjian dapat ditarik ke ranah pidana apabila memenuhi unsur adanya nama palsu/jabatan palsu, keadaan bohong, atau itikat buruk dari salah satu pihak.

Pada prinsipnya, perjanjian merupakan hubungan perdata, apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 1238 KUHPerdata, wanprestasi yaitu “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Sedangkan terkait perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yaitu: ”Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.

Biasanya seseorang dikatakan wanprestasi jika melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum jika perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain atau dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan.

Dalam hal orang melakukan wanprestasi atau cidera janji.

Pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor. 4/Yur/Pid/2018 yang menyatakan bahwa:

“Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik”

Pertanyaannya adalah kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara perdata, dan kapan seseorang dikatakan telah melakukan penipuan sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.

Suatu tindakan inkar janji atas pejanjian dapat dikatakan telah melakukan penipuan apabila sebelum terjadinya perjanjian salah satu pihak melakukan hal-hal berikut:

1. memakai nama palsu
2. kedudukan palsu
3. menggunakan tipu muslihat
4. rangkaian kata bohong

Hal ini sejalan dengan Putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyatakan:

“Bahwa alasan kasasi terdakwa yang menyatakan kasus terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya hutang piutang, antara terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran, dan itikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.”

Secara hukum perdata (wan prestasi) Secara teoritis antara wanprestasi dan tindak penipuan sangatlah berbeda dan memiliki ciri dan karakter yang berbeda.

”Wanprestasi” berasal dari Bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban (bukan karena suatu keadaan yang memaksa) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara Kreditur dengan Debitur. Wanprestasi diatur didalam pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa : “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Vide : (halaman 13 buku Penafsiran Hakim Tentang Perbedaan Antara Perkara Wanprestasi Dengan Penipuan Laporan Penelitian – Puslitbang Hukum Dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI tahun 2012 tentang “Penafsiran Hukum Tentang Perbedaan antara “Wanprestari” dengan “Penipuan” : Pengkajian Asas, Teori, Norma dan raktek Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan”oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS- November 2012.

Sebagaimana dalam buku saya dengan judul Tindak Pidana Penipuan Menurut KUHP Dan Syariat Islam, saya menyampaikan, pada halaman ke -1 Penipuan merupakan salah satu bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan membohongi orang lain atau tipu daya, melihat secara melawan hukum demi untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar bagi pribadinya, baik itu merupakan barang maupun uang, sehingga dengan demikian seseorang itu mempunyai kecenderungan dan berambisi untuk mempersiapkan diri lebih lanjut dalam berbagai penipuan (halaman 1 buku Tindak Pidana Penipuan Menurut KUHP Dan Syariat Islamà penulis Dr Alwan Hadiyanto, SH.MH penerbit Dameera Press-Jakarta);
​Penipuan berasal dari bahasan Belanda berarti “bedrog”, sedangkan pasal KUHP pertama dalam titel ini yakni pasal 378 mengenai perbuatan pidana “oplichting” yang berarti penipuan juga dalam arti sempit, sedangkan yang terdapat dalam pasal-pasal lain dari titel tersebut memuat perbuatan pidana yang lain yang juga bersifat penipuan yang bersifat luas, sebagaimana cuplikan pasal 378 yang berbunyi sebagai berikut :
​“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya dengan atau orang lain dengan melanggar hukum baik dengan memakai nama atau kedudukan palsu, baik dengan perbuatan-perbuatan tipu muslihat maupun dengan rangkaian kebohongan membujuk orang lain menyerahkan suatu barang atau supaya membuat utang atau menghapuskan hutang, dihukum karena penipuan (Oplichting) dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” (Vide : (halaman 8 buku Tindak Pidana Penipuan Menurut KUHP Dan Syariat Islamà penulis Dr Alwan Hadiyanto, SH.MH, penerbit Dameera Press-Jakarta);
Dari ilustrasi kasus tersebut antara penegakan hukum perdata khususnya wanprestasi dengan tindak pidana menjadi bias dan ambiguitas. Apalagi dalam masyarakat ada kecenderungan ingin memperoleh hasil yang cepat, sehingga yang semestinya harus dilakukan gugatan ke pengadilan, oleh masyarakat dilaporkan kepada pihak yang berwajib yaitu Polisi. Oleh karena terjadi laporan tindak pidana, maka ditindaklanjuti dengan penyidikan, penuntutan dan dilimpahkan ke pengadilan
dengan perkara pidana.

Kemudian menurut saya yang pernah di minta untuk menjadi AHLI Pidana terkait dugaan tindak pidana penipuan maka
apabila suatu perkara di dasari oleh suatu Perjanjian Kerjasama yang dilakukan oleh Kedua belah Pihak dan telah disetujui oleh kedua belah pihak, namun ditengah perjalanan kewajiban salah satu pihak tidak terpenuhi apakah hal tersebut masuk keranah perdata atau Pidana, maka akan kita telaah dan analisa lagi dalam perkara yang sedang berproses,

Baik secara hukum perdata (wan prestasi) Secara teoritis antara wanprestasi dan tindak penipuan sangatlah berbeda dan memiliki cirri dan karakter yang berbeda.

“Wanprestasi” berasal dari Bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban (bukan karena suatu keadaan yang memaksa) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara Kreditur dengan Debitur. Wanprestasi diatur didalam pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa : “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan

Vide : (halaman 13 buku Penafsiran Hakim Tentang Perbedaan Antara Perkara Wanprestasi Dengan Penipuan Laporan Penelitian – Puslitbang Hukum Dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI tahun 2012 tentang “Penafsiran Hukum Tentang Perbedaan antara “Wanprestari” dengan “Penipuan” : Pengkajian Asas, Teori, Norma dan raktek Penerapannya Dalam Putusan Pengadilan”oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS- November 2012.

Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu atau dengan berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan Debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Macam-macam bentuk keadaan Wanprestasi yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Vide : (halaman 18 buku, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian), Putra Abadin, Jakarta 1999 ; penulis R. Setiawan tahun 1999.

Konsep wanprestasi merupakan domain hukum perdata. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata : bahwa tujuan dari perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu seringkali menimbulkan keraguan-raguan dan memerlukan penjelasan. Berbuat sesuatu adalah bersifat positif dalam hukum pidana disebut delik komisi, tidak berbuat sesuatu bersifat negatif dalam hukum pidana dikenal dengan delik omisi delik pembiaran.
Batas tegas antara wanprestasi dengan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUHP dapat diidentifikasi adanya hubungan hukum yang diawali atau didahului dengan hubungan hukum kontraktual (Characteristics of fraud has always started with a contractual relationship).

Suatu perbuatan tindak pidana penipuan seperti Pasal 378 KUHP. Dalam hal dapat diketahui atau dapat dibuktikan bahwa dalam kontrak atau terjadinya wanprestasi terdapat adanya tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong dari pelaku yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain atau korban, hal ini merupakan tindak pidana penipuan.

Maka Dalam perkara ini ketika saya melihat ada rangkaian kebohongan untuk meyakinkan korban/ pelapor sehingga akhirnya terjadi hubungan / kerjasama antara keduanya.
Maka kesimpulan saya disitu ada dugaan tindak pidana penipuan pada pasal 378 kuhp.
Tindak pidana penipuan diatur dalam Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog) Pasal 378 KUHP pada adalah sebagai berikut :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah :
a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
b. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
c. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Saya sampaikan dalam hal ini sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 26 Juli 1990 No. 1601.K/Pid/1990 yang menyatakan:
“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
Prinsip dasar tindak pidana penipuan adalah tidak jujur cara untuk memperoleh harta yaitu dengan curang/tipu muslihat. Juga tidak jujur dalam memperoleh manfaat atau keuntungan melalui akal muslihat sehingga korban merasa tertipu.
Dalam hal ini ada ketidak jujuran sdra pelaku/ terlapor.
Vide : (halaman 92-93 buku, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Armico, Bandung – tahun, 1984, penulis Soedjono Dirdjosisworo.

Maka kesimpulan saya selaku yang sudah di minta untuk menjadi AHLI pidana yang kurang lebih sampai dengen Sekarang sudah lebih Dari 100 kali, Dan Melahat berbagai maçam modus penipuan. Maka
terhadap suatu perkara di atas yang didasari oleh suatu Perjanjian Kerjasama yang dilakukan oleh Kedua belah Pihak dan telah disetujui oleh kedua belah pihak, akan tetapi tidak dengan niat yang jujur dan tidak sesuai realita dan kenyataan yang mana ada unsur kebohongan, meyakinkan, adda kecurangan dan tipu muslihat, maka hal tersebut masuk keranah Pidana.

​Sebagaimana Dalam buku saya dengan judul Tindak Pidana Penipuan Menurut KUHP Dan Syariat Islam, saya menyampaikan, pada halaman ke -1 Penipuan merupakan salah satu bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan membohongi orang lain atau tipu daya, melihat secara melawan hukum demi untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar bagi pribadinya, baik itu merupakan barang maupun uang, sehingga dengan demikian seseorang itu mempunyai kecenderungan dan berambisi untuk mempersiapkan diri lebih lanjut dalam berbagai penipuan (halaman 1 buku Tindak Pidana Penipuan Menurut KUHP Dan Syariat Islamà penulis Dr Alwan Hadiyanto, SH.MH penerbit Dameera Press-Jakarta);
​Penipuan berasal dari bahasan Belanda berarti “bedrog”, sedangkan pasal KUHP pertama dalam titel ini yakni pasal 378 mengenai perbuatan pidana “oplichting” yang berarti penipuan juga dalam arti sempit, sedangkan yang terdapat dalam pasal-pasal lain dari titel tersebut memuat perbuatan pidana yang lain yang juga bersifat penipuan yang bersifat luas, sebagaimana cuplikan pasal 378 yang berbunyi sebagai berikut :
​“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinya dengan atau orang lain dengan melanggar hukum baik dengan memakai nama atau kedudukan palsu, baik dengan perbuatan-perbuatan tipu muslihat maupun dengan rangkaian kebohongan membujuk orang lain menyerahkan suatu barang atau supaya membuat utang atau menghapuskan hutang, dihukum karena penipuan (Oplichting) dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” (Vide : (halaman 8 buku Tindak Pidana Penipuan Menurut KUHP Dan Syariat Islamà penulis Dr Alwan Hadiyanto, SH.MH, penerbit Dameera Press-Jakarta);———————————————-

Kemudian jika Ada pertanyaan ??Bagaimana apabila dalam pelaksanaan Point Objek kerjasama telah dilakukan namun hanya kewajiban yang tidak dilaksanakan, apakah masuk keranah perdata atau Pidana ? Jelaskan ———————————

Maka saya Berpendapat dan memberikan jawaban
terhadap hal tersebut, kesimpulan saya selaku orang yang diminta keterangan AHLI pidana dugaan penipuan maka terhadap suatu perkara di atas yang mana dalam pelaksanaan Point Objek kerjasama telah dilakukan namun kewajiban yang tidak dilaksanakan, maka hal tersebut masuk keranah Pidana.

Imi saya berpendapat Bahwa Berdasarkan ketentuan pasal 1247 dan pasal 1248 KUH Perdata terdapat titik singgung dalam hal perjanjian terdapat unsur tipu daya yang secara tertulis dalam perjanjian sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak dapat dipenuhi oleh pihak lain.
Tipu daya adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari keuntungan. Apabila pengertian tipu daya sebagaimana
dimaksudkan dalam ketentuan pasal 1247 KUH Perdata adalah demikian, maka secara materiel sebenarnya cacat dan tidak memenuhi syarat ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : Syarat-syarat Terjadinya Suatu Persetujuan yang Sah. Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh ada khilaf mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persjanjian atau khilaf mengenai para pihak dalam perjanjian yang dibuatnya tersebut. Adanya paksaan dari salah satu pihak melakukan perbuatan karena takut ancaman sebagaimana diatur pasal 1324 KUH Perdata, yaitu :
“Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orangorangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat“. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan “.
Adanya penipuan dalam bentuk kebohongan atau adanya tipu muslihat sebagaimana diatur pasal 1328 KUH Perdata, yaitu :
”Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan“.
Perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” yang mengandung kekhilafan, adanya ancaman, penipuan maka perjanjian tersebut dapat diajukan pembatalan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Kecakapan menurut KUH Perdata diatur dalam ketentuan pasal 1330 . Seseorang yang dinyatakan tidak cakap berbuat hukum atau membuat perjanjian adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, yang ditetapkan Burgelijke Wet Boek, dan pada umumnya semua orang yang dilarang undang undang utnuk membuat perjanjian tertentu Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan dinyatakan cakap berbuat hukum meskipun telah menikah. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Perjanjian yang dibuat oleh orang selain yang dikecualikan oleh SEMA Nomor 3 Tahun 1963 dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah batal demi hukum sebagaimana diatur Pasal 1446 KUH Perdata, yaitu :
“Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampunan. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.
3. Suatu pokok persoalan tertentu; Suatu perjanjian yang tidak jelas obyeknya adalah batal demi hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1332 KUH Perdata, yaitu :
“hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian“. Terhadap barang yang dijadikan obyek perjanjian dan akan ada kemudian diatur dalam pasal Pasal 1334 KUH Perdata, yaitu : “ barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undangundang secara tegas“.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang/kausa yang halal.
Sahnya causa yang halal suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
yang didasarkan pada causa yang halal atau sebab yang terlarang kecuali ditentukan lain oleh undang -undang adalah batal demi hukum.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
5. Penyalahgunaan keadaan.
Selain syarat yang telah disebutkan dalam pasal 1320 KUH Perdata, masih terdapat alasan lain yang berkembang dalam doktrin yang menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan juga menjadi sebab dapat dibatalkannya perjanjian.
Menurut Henry P Panggabean, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung RI, terdapat empat syarat penyalahgunaan keadaan, yakni :
1. Keadaan istimewa.
Pihak pihak yang membuat perjanjian di bawah kesadaran
2. suatu hal yang nyata. Maksudnya, pembuat perjanjian termotivasi sesuatu hal yang dia pikir akan menguntungkan.
3. penyalahgunaan karena satu pihak memiliki keunggulan. Misalnya keunggulan ekonomi atau kejiwaan.
4. Ada hubungan kausal. Kerugian benar-benar timbul karena orang berspekulasi, dan merugikanorang lain.
Cacatnya perjanjian dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adanya unsure tipu daya. Tipu daya tersebut dapat berada pada syarat subyektif dan juga terdapat syarat obyektif. Disinilah peran hakim/ penegak hukum dan kepolisian untuk menguji secara obyektif dan rasional dalam penyidikan dan persidangan sangat menentukan.

Itikat baik menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh para pihak. Meskipun ketentuan pasal 1320 KUH Perdata secara formal telah terpenuhi, namun apabila ketentuan pasal 1338 tersebut tidak terpenuhi juga berakibat perjanjian batal demi hukum.

Perjanjian/ kerjasama menurut saya telah batal demi hukum karena adanya factor kesengajaan dalam memasukkan tipu daya dalam perjanjian/ kerjasama, dan dengan adanya unsur tipu daya tersebut menurut saya ini masuk ranah perkara pidana.

Batam, 17 Mei 2024

#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *