Meutiaranews.co, Batam – Rencana pemerintah mengenakan pajak sembako dan sejumlah bahan pangan lainnya cukup mengejutkan publik tanah air.

Saat ini, pemerintah setengah mengkaji draf Revisi Kela UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Bahan pangan yang akan dikenakan PPN antara lain beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, daging, telur, garam, sayur hingga buah. 

Meteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan dari sisi etika politik, sebetulnya ia belum bisa menjelaskan secara rinci kepada publik. Sebab, rancangan beleid itu belum dibahas dengan DPR.

Ia mengatakan draf rencana undang-undang ini juga semestinya tidak bocor sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan langsung ke Parlemen.

“Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui Surat Presiden dan oleh karena itu situasinya menjadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan ke DPR juga,” ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Rabu, 9 Juni 2021.

Sri Mulyani menambahkan, situasi tersebut membuat pemerintah dalam posisi tidak bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur perpajakan yang direncanakan. Berikut ini sejumlah poin yang disampaikan Sri Mulyani atas rencana pungutan PPN dalam rapat kerja di kompleks Parlemen, Senayan.

Sri Mulyani memastikan saat ini PPN untuk sembako belum berlaku. Ia pun meminta maaf kepada para anggota dewan yang telah diberondong pertanyaan oleh konstituennya akibat meruaknya rencana itu.

“Saya juga minta maaf pasti semua Komisi XI ditanya kenapa ada policy, seolah-olah sekarang PPN sudah naik, padahal enggak ada,” ujar dia.

Sri Mulyani menyayangkan draf rancangan undang-undang tersebut bocor. Akibatnya, rencana kebijakan pemerintah hanya dipahami sepotong-sepotong dan tidak menyeluruh. 

“Yang kemudian di-blow up menjadi sesuatu yang tidak mempertimbangkan situasi hari ini, padahal fokus kita adalah pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Selain itu, Sri Mulyani memastikan pemerintah akan membahas rencana kebijakan PPN bersama Komisi XI DPR. Menurut dia, tidak mungkin pemerintah mengambil kebijakan perpajakan tanpa mendiskusikannya lebih dulu dengan legislatif.

“Kenapa kita usulkan suatu pasal ini, alasannya, background-nya, dan kalau pun itu adalah arah yang benar, apakah harus sekarang atau enam bulan lagi atau tahun depan. Itu semua akan kita bahas penuh dengan Komisi XI,” katanya.

Menurut Sri Mulyani, saat ini rakyat telah banyak menikmati insentif perpajakan yang diberikan pemerintah.

“Padahal sekarang rakyat banyak menikmati seluruh belanja dan bantuan pemerintah dan insentif perpajakan,” katanya.

Berbagai insentif pajak yang diberikan di antaranya, masyarakat tidak perlu membayar PPh 21. Kemudian, ada penundaan PPN atau direstitusi pajak. Ada juga insentif pengurangan PPh 25 hingga diskon 50 persen untuk PPh masa.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, memastikan wacana penyesuaian skema PPN sedang digodok. Ia mengatakan pemerintah akan meminta masukan dari banyak pihak.

Adapun ihwal alasan untuk merevisi kebijakan, Prastowo mengatakan perlu ada upaya optimalisasi penerimaan pajak karena hal ini juga menjadi fokus negara-negara lain yang juga perekonomiannya terdampak buruk pandemi Covid-19.

Prastowo menyebut setidaknya 15 negara yang menyesuaikan skema tarif PPN untuk membiayai penanganan pagebluk. Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, juga berencana menaikkan tarif PPN untuk sustainibilitas.

“Kita lakukan kajian dan benchmarking. Belajar dari pengalaman dan tren negara lain. Yang gagal ditinggal, yang baik dipetik. Ini ringkasan datanya: 24 negara tarif PPN-nya di atas 20 persen, 104 negara 11-20 persen, selebihnya beragam 10 persen ke bawah. Lalu Indonesia bagaimana melihat ini?” katanya dalam Twitter pribadinya, Rabu, 9 Juni.

Prastowo melanjutkan, rencana pemerintah mengganti skema tunggal PPN menjadi multitarif adalah adalah untuk memenuhi azas keadilan bagi masyarakat. 

Dengan begitu, tambahnya, PPN yang dibayarkan mengacu pada penghasilan serta pola konsumsi masyarakat.

“Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” kata Prastowo. (Tempo.co)

#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

By Dika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *