Meutiaranews.co – Tempat hiburan malam tidak sedikit di dalamnya terdapat praktik prostitusi dan perjudian beroperasi di kota-kota besar. Banyak di antara pegawai tempat tersebut merupakan seorang Muslim.

Lantas, apakah Muslim boleh bekerja di tempat yang diduga menghelat aksi maksiat? Padahal, misalnya, dia tidak ikut melakukan kemaksiatan tersebut. Dia pun tidak memiliki pilihan lain karena hanya tempat itu yang bisa menerimanya bekerja.

Mengutip Republika.co.id, dalam perspektif Islam, memberi nafkah adalah kewajiban para ayah kepada keluarganya. Bekerja ataupun berniaga dengan cara halal dan tayib menjadi jihad bagi kepala keluarga. Setiap tetes keringatnya akan dibalas dengan pahala. Mencari nafkah bahkan merupakan perintah agama.

“… dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf …” (QS al-Baqarah [2]: 233). Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir men jelaskan, maksud dari penggalan ayat ini adalah seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang makruf.

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.

Imam Ibnu Katsir melanjutkan, cara yang makruf, yakni sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang. Artinya, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.

Sebagaimana firman Allah SWT, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS at-Talaq [65]: 7).

Jikalau bekerja disebut sebagai perintah agama, bagaimana apabila kita bekerja di tempat maksiat, seperti prostitusi? Praktik prostitusi atau dalam kata lain zina berbayar dilarang agama mana pun dan hukum positif di negeri ini.

Dalam hukum Islam, berzina tergolong pelanggaran berat. Pelakunya apabila sudah berstatus menikah terancam hukuman rajam.

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS al-Isra: 32).

Dalam hadis lain, dari sahabat Ibnu ‘Abbas RA, Rasulullah melarang kita untuk berdua-duaan dengan orang yang bukan mahram. “Janganlah sekali-kali seseorang lelaki berkhalwat (bersepi-sepi) dengan wanita (yang tidak mempunyai hubungan mahram) kecuali jika dibarengi mahramnya” (HR Bukhari Muslim).

Syekh Yusuf Qaradhawi dalam Fiqih Kontemporer menjelaskan, dalam peraturan dan tuntunannya, Islam menyuruh umatnya untuk memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal dia harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak terlibat dalam kemaksiatan itu.

Itulah mengapa Islam mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan permusuhan. Setiap orang yang bekerja sama membantu kemaksiatan pun dianggap bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya. Baik pertolongan itu dalam bentuk moriel ataupun materiel, perbuatan atau perkataan.

Banyak hadis yang melarang seorang Muslim untuk mendekati pekerjaan maksiat. Dari khamar, korupsi, hingga riba. “Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang dibawakannya” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).

Untuk hadis tentang riba, Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Rasulullah SAW melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya dan penulisnya” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

Dari paparan hadis tersebut, kita bisa menangkap pelarangan untuk bekerja di tempat maksiat. Rasulullah bahkan melarang sekadar membawakan khamar atau menuangkannya. Allah SWT pun melaknatnya.

Untuk itu, perintah untuk mencari nafkah tentu tak lepas dari unsur halal dan tayib. Jika tidak memenuhi itu, lebih baik kita menghindarinya. Kesulitan dalam mencari pekerjaan pengganti demi anak istri akan terjawab manakala kita berikhtiar dan bertawakal.

Dari Umar RA, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang” (HR Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah). (es)

#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional

By Dika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *