Meutiaranews.co – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan, Indonesia akan melakukan transfer atau ekspor listrik ke Singapura. Ekspor listrik ke Singapura diperkirakan terjadi mulai 2025 dan disesuaikan dengan kebutuhan listriknya.
Seperti yang diketahui, bahwa Singapura memang sebelumnya terancam krisis energi yang akan berdampak pada pasokan listrik di negara tersebut. Hal ini terjadi akibat terganggunya pasokan gas ke negara tetangga RI tersebut.
Sebagai dampak dari mulai terbatasnya pasokan gas alam, beberapa perusahaan produsen listrik mulai menyatakan akan keluar dari bisnis listrik di Singapura. Pada tahun lalu, Ohm Energy dan iSwitch menyatakan akan menghentikan operasinya dan telah mengembalikan rekening pengguna ke SP group, perusahaan listrik milik negara di Singapura.
Secara total, setidaknya saat ini sudah ada tiga perusahaan mengaku akan keluar dari bisnis listrik di Singapura. Negara ini memang telah meliberasi listrik sejak 2018, dengan meluncurkan sistem Pasar Terbuka (OEM).
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Ida Nuryatin Finahari menjelaskan perjanjian kerjasama atau memorandum of understanding (MoU) Kementerian ESDM RI dan Kementerian Perdagangan Singapura telah disepakati pada 21 Januari 2022.
Dalam MoU tersebut, kata Ida tidak otomatis Indonesia akan transaksi jual-beli listrik kepada Singapura, tapi banyak working group atau kelompok kerja yang dibangun untuk pembahasan lainnya.
“Selain working group ekspor (listrik) juga ada kelitbangan dan training EBT (energi baru terbarukan). Itu yang tertuang di dalam MoU Menteri ESDM Indonesia (Arifin Tasrif) dan Menteri Perdagangan dan Industri Singapura (Tan See Leng),” jelas Ida kepada CNBC Indonesia, Senin (7/2/2022).
Ida merinci, secara garis besar terdapat tiga skema untuk penjualan lintas negara. Pertama, skema point to point, skema grid to grid I, dan skema grid to grid II.
Pada skema point to point, di mana badan usaha pemegang wilayah usaha masing-masing membangun jaringan transmisi wilayah untuk usaha masing-masing membangun jaringan transmisi untuk ekspor tenaga listrik ke masing-masing konsumen di Singapura.
“Jadi masing-masing badan usaha sebagai pemegang penetapan wilayah bisa melakukan itu,” jelas Ida.
Kedua, skema grid to grid I. Di mana pada skema ini, kata Ida badan usaha selaku pemilik pembangkit EBT sebagai IPP EBT menjual seluruh tenaga listriknya kepada badan usaha pemegang wilayah eksisting.
Ida memberikan contoh pada skema grid to grid I ini, misalnya PLN Batam dan badan usaha pemegang usaha wilayah ini melakukan ekspor ke Singapura. Jadi, badan usaha yang akan membangun EBT dan menjualnya kepada PLN atau PLN Batam yang kemudian transaksi ke Singapura.
Ketiga, skema grid to grid II. Skema ini, kata Ida para badan usaha pemegang penetapan wilayah usaha, memanfaatkan jaringan transmisi milik badan usaha penetapan wilayah usaha lainnya untuk ekspor listrik ke konsumen di Singapura.
“Jadi, kita katakan, badan usaha wilayah pertama membangun jaringan transmisi interkoneksi kedua negara, Indonesia dan Singapura. Juga, badan usaha pemegang wilayah usaha yang lain membayar jaringan transmisi tersebut,” jelas Ida.
Ida menerangkan, pada tahap pertama, apabila menggunakan HVAC (High Voltage Alternating Current) maka Indonesia bakal melakukan transfer listrik hingga 600 megawatt (MW) yang bisa diimplementasikan pada 2025.
Selanjutnya, apabila transfer listrik menggunakan High Voltage Direct Current (HVDC), Indonesia akan melakukan transfer listrik dengan kapasitas yang lebih besar dan bisa diimplementasikan pada 2027.
“Kedua hal tersebut tergantung dari permintaan Singapura yang tertuang di dalam dokumen request of proposal tahap satu yang telah dirilis pada akhir 2021,” ujarnya.
“Singapura-nya yang mengeluarkan request proposal ini, tahap pertama dan target mereka sekitar 1,2 GW sampai 2027. Tapi dari Indonesia tergantung dari kajian yang dilakukan badan usaha, PT PLN (Persero) dan lainnya,” kata Ida melanjutkan.
Sumber: cnbcindonesia.com
#Menuju Perusahaan Pers yang Sehat dan Profesional